A.
PENDAHULUAN
Keberadaan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) ditetapkan
melalui: (1) Kepmendiknas No. 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, menetapkan bahwa Pendidikan
Agama, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum
setiap program studi/kelompok program studi. (2) Kepmendiknas No.045/U/2002
tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi menetapkan bahwa Pendidikan Agama,
Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program
studi/kelmpok program studi. (3) Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No.
43/Dikti/Kep/2006 tentang rambu-rambu pelaksanaan pembelajaran kelompok mata
kuliah pengembangan kepribadian di perguruan tinggi, menetapkan status dan
beban studi kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian. Bahwasannya beban
studi untuk Mata Kuliah Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan Bahasa
masing-masing sebanyak 3 sks. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh
gambaran bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai MPK karena PKn merupakan
bagian kelompok MPK. Pertanyaan yang muncul di sini yaitu mengapa Pendidikan Kewarganegaraan
diposisikan sebagai MPK ? Apa urgensi Pendidikan Kewarganegaraan sebagi MPK?
MPK adalah suatu
program pendidikan nilai yang dilaksanakan melalui proses pembelajaran di
Perguruan Tinggi dan berfungsi sebagai model pengembangan jati diri dan
kepribadian para mahasiswa, bertujuan membangun manusia Indonesia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap,
dan mandiri, serta mempunyai rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan
(Iriyanto Ws, 2005:2 ).
Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian termasuk Pendidikan Kewarganegaraan yang termuat dalam
Kurikulum Pendidikan Tinggi tahun akademik 2002-2003 dirancang berbasis
kompetensi. Secara umum Kurikulum Berbasis Kompetensi selalu menekankan
kejelasan hasil didik sebagai seorang yang memiliki kemampuan dalam hal; (1)
Menguasai ilmu dan ketrampilan tertentu; (2) Menguasai penerapan ilmu dan ketrampilan
dalam bentuk kekaryaan; (3) Menguasai sikap berkarya secara profesional; (4)
Menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan bermasyarakat.
Keempat kompetensi
program pembelajaran KBK tersebut di atas dikembangkan dengan menempatkan MPK
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, yaitu sebagai pedoman dan dasar
kekaryaan. Seorang lulusan pendidikan tinggi diharapkan mampu menerapkan bekal
pendidikannya sebagai cara-cara penemuan, pisau analisis (a method of
inquiry) dalam memerankan dirinya sebagai pencerah masyarakat,
kehidupan berbangsa dan bernegara (Hamdan Mansoer, 2004: 5).
1.
Latar
Belakang Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
a.
Perubahan
Pendidikan ke Masa Depan
Dalam Konferensi Menteri Pendidikan
Negara-negar berpenduduk besar di New Delhi tahun 1996, menyepakati bahwa
pendidikan Abad XXI harus berperan aktif dalam hal; (1) Mempersiapkan pribadi
sebagai warga negara dan anggota masyarakat yang bertanggung jawab; (2) Menanamkan
dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi kesejahteraan
manusia dan kelestarian lingkungan hidup; (3) Menyelenggarakan pendidikan yang
berorientasi pada penguasaan, pengembangan, dan penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni demi kepentingan kemanusiaan.
Kemudian dalam konferensi internasioanl
tentang pendidikan tinggi yang diselenggarakan UNESCO di Paris tahun 1998
menyepakati bahwa perubahan pendidikan tinggi masa depan bertolak dari
pandangan bahwa tanggungjawab pendidikan adalah; (1) Tidak hanya meneruskan nilai-nilai,
mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, tetapi juga melahirkan
warganegara yang berkesadaran tinggi tentang bangsa dan kemanusiaan; (2)
Mempersiapkan tenaga kerja masa depan yang produktif dalam konteks yang
dinamis; (3) Mengubah cara berfikir, sikap hidup, dan perilaku berkarya
individu maupun kelompok masyarakat dalam rangka memprakarsai perubahan sosial
yang diperlukan serta mendorong perubahan ke arah kemajuan yang adil dan bebas.
Agar bangsa Indonesia tidak tertinggal
dari bangsa-bangsa lain maka Pendidikan nasional Indonesia perlu dikembangkan
searah dengan perubahan pendidikan ke masa depan. Pendidikan nasional memiliki fungsi
sangat strategis yaitu “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”
Tujuan Pendidikan nasional “ berkembangnya potensi peserta anak didik agar
menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship
education) di perguruan tinggi sebagai kelompok MPK diharapkan dapat mengemban
misi fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Melalui pengasuhan Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang substansi kajian dan materi
instruksionalnya menunjang dan relevan dengan pembangunan masyarakat demokratik
berkeadaban, diharapkan mahasiswa akan tumbuh menjadi ilmuwan atau profesional,
berdaya saing secara internasionasional, warganegara Indonesia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air.
b. Dinamika Internal Bangsa Indonesia
Dalam kurun dasa warsa terakhir ini,
Indonesia mengalami percepatan perubahan yang luar biasa. Misalnya, loncatan
demokratisasi, transparansi yang hampir membuat tak ada lagi batas kerahasiaan
di negara kita, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Liberalisasi
bersamaan dengan demokratisasi di bidang politik, melahirkan sistem multi
partai yang cenderung tidak efektif, pemilihan presiden – wakil presiden secara
langsung yang belum diimbangi kesiapan infrastruktur sosial berupa kesiapan
mental elit politik dan masyarakat yang kondusif bagi terciptanya demokrasi
yang bermartabat. Kekuasaan DPR-DPRD yang sangat kuat seringkali disalahgunakan
sebagai ajang manuver kekuatan politik yang berdampak timbulnya ketegangan-ketegangan
suasana politik nasional, dan hubungan eksekutif dan legeslatif. Pengembangan
otonomi daerah berekses pada semakin bermunculan daerah otonomi khusus,
pemekaran wilayah yang kadang tidak dilandasi asas-asas kepentingan nasional
sehingga system ketatanegaraan dan sistem pemerintahan terkesan menjadi ”chaos”
(Siswono Yudohusodo, 2004:5).
Situasi lain yang saat ini muncul yaitu
melemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang telah lama
menjadi prinsip dan bahkan sebagai pandangan hidup, mengakibatkan sistem
filosofi bangsa Indonesia menjadi rapuh. Ada dua faktor penyebabnya, yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh globalisasi
yang di semangati liberalisme mendorong lahirnya system kapitalisme di bidang
ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Dalam praktiknya sistem
kapitalisme dan demokrasi liberal yang disponsori oleh negara-negara maju
seperti Amerika, mampu menggeser tatanan dunia lama yang lokal regional menjadi
tatanan dunia baru yang bersifat global mondial. Bahkan mampu menyusup dan
mempengaruhi tatanan nilai kehidupan internal setiap bangsa di dunia. Tarik
ulur yang memicu ketegangan saat ini sedang terjadi dalam internal setiap
bangsa, antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang menjadi
identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang telah dikemas
melalui teknologinya (Iriyanto Widisuseno, 2004: 4). Sejauh mana kekuatan
setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia untuk mengadaptasi nilai-nilai asing
tersebut. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia sangat
rentan terkooptasi nilai-nilai asing yang cenderung berorientasi praktis dan
pragmatis dapat menggeser nilai-nilai dasar kehidupan. Kecenderungan munculnya
situasi semacam ini sudah mulai menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa Indonesia
saat ini. Seperti nampak pada sebagian masyarakat dan bahkan para elit yang
sudah semakin melupakan peran nilai-nilai dasar yang wujud kristalisasinya
berupa Pancasila dalam perbincangan lingkup ketatanegaraan atau bahkan
kehidupan sehari-hari. Pancasila sudah semakin tergeser dari perannya dalam
praktik ketatanegaraan dan produk kebijakan-kebijakan pembangunan. Praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas dari konsep
filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila nampak hanya dalam status
formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai system filosofi bangsa
sudah tidak memiliki daya spirit bagi kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan
bernegara. Sistem filosofi Pancasila sudah rapuh. Masyarakat dan bangsa
Indonesia kehilangan dasar, pegangan dan arah pembangunan.
Faktor internal, yaitu bersumber dari
internal bangsa Indonesia sendiri. Kenyataan seperti ini muncul dari kesalahan
sebagian masyarakat dalam memahami Pancasila. Banyak kalangan masyarakat memandang
Pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis. Sebagian lagi masyarakat
menganggap bahwa Pancasila merupakan alat legitimasi kekuasaan Orde Baru. Segala
titik kelemahan pada Orde Baru linier dengan Pancasila. Akibat yang timbul dari
kesalahan pemahaman tentang Pancasila ini sebagian masyarakat menyalahkan
Pancasila, bahkan anti Pancasila. Kenyataan semacam ini sekarang sedang menggejala
pada sebagian masyarakat Indonesia. Kesalahan pemahaman (epistemologis) ini
menjadikan masyarakat telah kehilangan sumber dan sarana
orientasi nilai.
Disorientasi nilai dan distorsi
nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia dewasa ini. Disorientasi
nilai terjadi saat masyarakat menghadapi masa transisi dan
transformasi. Dalam masa transisi terdapat peralihan dari masyarakat pedesaan
menjadi masyarakat perkotaan, masyarakat agraris ke masyarakat industri dan
jasa, dari tipologi masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari mayarakat
paternalistik ke arah masyarakat demokratis, dari masyarakat feodal ke masyarakat
egaliter, dari makhluk sosial ke makhluk ekonomi. Dalam proses transisi ini
menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia mengalami kegoyahan konseptual tentang
prinsip-prinsip kehidupan yang telah lama menjadi pegangan hidup, sehingga
timbul kekaburan dan ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan
menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi.
Dalam masa transformasi, terjadi
pergeseran tata nilai kehidupan sebagian masyarakat Indonesia sebagai dampak
dari proses transisi, misal beralihnya dari kebiasaan cara pandang masyarakat
yang mengapresiasi nilai-nilai tradisional ke arah nilai-nilai modern yang cenderung
rasional dan pragmatis, dari kebiasaan hidup dalam tata pergaulan masyarakat
yang konformistik bergeser ke arah tata pergaulan masyarakat yang dilandasi
cara pandang individualistik. Distorsi nasionalisme, suatu
fenomena sosial pada sebagian masyarakat Indeonesia yang menggambarkan semakin pudar
rasa kesediaan mereka untuk hidup eksis bersama, menipisnya rasa dan kesadaran
akan adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar pada kepahlawanan masa
silam yang tumbuh karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan di masa lalu.
Hilangnya rasa saling percaya (trust) antar sesama baik horizontal
maupun vertikal. Fenomena yang kini berkembang adalah rasa saling curiga, dan
menjatuhkan sesama. Inilah tanda-tanda melemahnya kohesivitas sosial
kemasyarakatan di antara kita sekarang ini.
B.
Tujuan
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan dilakukan oleh hampir seluruh bangsa di dunia, dengan
menggunakan nama seperti: civic education, citizenship education, democracy
education. PKn memiliki peran strategis dalam mempersiapkan warganegara yang
cerdas, bertanggungjawab jawab dan berkeadaban. Menurut rumusan Civic
International (1995) bahwa “pendidikan demokrasi penting bagi pertumbuhan “civic
culture” untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan, inilah
satu tujuan penting pendidikan “civic” maupun citizenship” untuk mengatasi political
apatism demokrasi (Azyumadi Azra, 2002 : 12 ). Semua negara yang formal
menganut demokrasi menerapkan Pendidikan Kewarganegaraan dengan muatan,
demokrasi, rule of law, HAM, dan perdamaian, dan selalu mengaitkan dengan
kondisi situasional negara dan bangsa masing-masing
Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia semestinya menjadi tanggungjawab semua pihak atau
komponen bangsa, pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga keagamaan dan
msyarakat industri (Hamdan Mansoer, 2004: 4).
Searah dengan perubahan
pendidikan ke masa depan dan dinamika internal bangsa Indonesia, program
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus mampu
mencapai tujuan:
a
Mengembangkan
sikap dan perilaku kewarganegaraan yang mengapresiasi nilai-nilai moral-etika
dan religius.
b
Menjadi
warganegara yang cerdas berkarakter, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
c
Menumbuhkembangkan
jiwa dan semangat nasionalisme, dan rasa cinta pada tanah air.
d
Mengembangkan sikap
demokratik berkeadaban dan bertanggungjawab, serta mengembangkan kemampuan
kompetitif bangsa di era globalisasi.
e
Menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan
C.
Pancasila sebagai Nilai Dasar PKn untuk
Berkarya Bagi Lulusan PT
Program pembelajaran
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian sebagai pendidikan nilai di Perguruan
Tinggi memiliki fungsi meletakkan dasar nilai sebagai pedoman berkarya bagi
lulusan perguruan tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai MPK diarahkan
mampu mengemban misi tersebut. Konsekuensi PKn sebagai MPK, keseluruhan materi
program pembelajaran PKn disirati nilai-nilai Pancasila.
Pengertian nilai dasar
harus difahami bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijadikan sebagai pedoman dan
sumber orientasi pengembangan kekaryaan setiap lulusan PT. Peran nilai-nilai
dalam setiap Sila Pancasila adalah sebagai berikut.
1
Nilai Ketuhanan
dalam Sila Ketuhanan YME : melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan
antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan
manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya. Faham nilai ketuhanan dalam
Sila Ketuhanan YME, tidak memberikan ruang bagi faham ateisme, fundamentalisme
dan ekstrimisme keagamaan, sekularisme keilmuan, antroposentrisme dan
kosmosentrisme.
2
Nilai Kemanusiaan
dalam Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan
ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu harus didasarkan pada tujuan awal ditemukan
ilmu atau fungsinya semula, yaitu untuk mencerdaskan, mensejahterakan, dan memartabatkan
manusia, ilmu tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.
3
Nilai Persatuan
dalam Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam
sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub
sistem. Solidaritas dalam subsistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan
individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi. Nilai Persatuan dalam Sila
Persatuan Indonesia sesnsinya adalah pengakuan kebhinnekaan dalam kesatuan:
koeksistensi, kohesivitas, kesetaraan, kekeluargaan, dan supremasi hukum.
4
Nilai Kerakyatan
dalam Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan
penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan,
sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan masal. Nilai Kerakyatan dalam
Sila 4 ini esensinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang
berkeadaban. Tidak memberi ruang bagi faham egoisme keilmuan ( puritanisme,
otonomi keilmuan), liberalisme dan individualsime dalam kontek kehidupan.
5
Nilai Keadilan
dalam Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga
keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan
komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan
semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas
dan inovasi.
Kelima dasar nilai
tersebut sebagai pedoman dan sumber orientasi dalam penyusunan dan pengembangan
substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai MPK mencerminkan pendidikan demokrasi, HAM dan
persoalan kewarganegaraan lainnya berperspektif Pancasila. Jadi, meskipun
setiap bangsa sama-sama menyebut Pendidikan Kewarganegaraan sebagai “civic education,
democracy education, civil education” dsb, tetapi arah pengembangan kompetensi
keilmuan PKn di perguruan tinggi Indonesia memiliki karakter sendiri.